Makalah | Teori Pendidikan Jean Jacques Rousseau

JEAN-JACQUES ROUSSEAU 1712-1778
ahir di Jenewa, Swiss, filosof tenar Jean-Jacques Rousseau ini. Malang menimpa, bundanya hembuskan napas teraklrir tak lama sesudah melahirkannya. Rupanya, nasib buruk masih terus membuntuti: di umur sepuluh tahun ayahnya diusir dan meninggalkan Jenewa dan hiduplah Rousseau seorang diri. Kemudian Rousseau sendiri meninggalkan Jenewa tahun 1728 ketika umurnya menginjak enam belas tahun. Bertahun Rousseau awam seawam-awamnya, tak terkenal namanya samasekali, berkelana dari satu tempat ke tempat lain, dan bekerja di satu tempat dan pindah kerja di tempat lain. Di sela-sela itu dia terlibat percintaan dengan banyak wanita, antara lain dengan Therese Levasseur yang ujungujungnya punya lima anak di luar perkawinan. Dia tempatkan kelima anak itu di asrama anak-anak yang tidak ketahuan bapak-ibunya. (Tatkala usianya mencapai lima puluh tahun, Therese dinikahinya betul-betul).
Pada tahun 1750 –di umur tiga puluh delapan– mendadak Rousseau jadi tenar. Akademi Dijon menawarkan hadiah esai terbaik tentang pokok soal: apakah seni dan ilmu pengetahuan memang punya manfaat buat kemanusiaan, berhasil dapat hadiah pertama. Sesudah itu namanya melangit. Beruntun muncullah karya-karya lainnya, termasuk Discourse on the Origin of Inequality (1755); La nouvelle Heloise (1761); Emile (1762); The Social Contract (1762); Confessions (1770) yang kesemuanya itu melambungkan kemasyhurannya. Tambahan lagi, karena Rousseau suka musik, dia menggubah dua opera masing-masing Les muses galantes dan Le devin du village.
Kendati mulanya Rousseau sahabat sejumlah penulis pembaharu Perancis –termasuk Denis Diderot dan Jean d’Alambert, jalan pikirannya segera bersimpang jalan tajam dengan mereka. Karena Rousseau menentang rencana Voltaire mendirikan sebuah teater di Jenewa (Rousseau bersikeras bahwa teater merupakan sekolah yang membejatkan moral), Rousseau dibenci habis-habisan oleh Voltaire. Disamping itu, citra rasa Rousseau berbeda amat dengan rasionalisme Voltaire dan kaum Encyclopedist. Mulai tahun 1762 dan seterusnya, Rousseau menghadapi kesulitan dengan pihak penguasa karena tulisan-tulisan politiknya.
Beberapa kawan dekatnya mulai menjauh darinya dan bersamaan dengan saat itulah Rousseau tampak mengalami kelainan jiwa. Meskipun sejumlah orang masih bersahabat dengannya, Rousseau bersikap bermusuhan dengan mereka karena sifatnya sudah menjadi penuh curiga dan kasar. Selama dua puluh tahun sisa hidupnya, dia umumnya menjadi orang penuh benci dan kecewa serta dirundung kemurungan tak bahagia. Dia meninggal dunia 1778 di Ermenonville Perancis.
Tulisan-tulisan Rousseau orang bilang merupakan faktor penting bagi pertumbuhan sosialisme, romantisme, totaliterisme, anti-rasionalisme, serta perintis jalan ke arah pecahnya Revolusi Perancis dan merupakan penyumbang buat ide-ide modern menuju demokrasi dan persamaan. Dia juga dianggap punya sumbangan penting dalam hal pengaruh teori pendidikan modern. Telah lama dipermasalahkan di bidang teoritis bahwa manusia hampir pada hakekatnya merupakan produk alam sekitarnya (karena itu mudah berubah serta peka). Anggapan ini berasal pula dari tulisan-tulisan Rousseau. Dan sudah barang tentu, dia pun punya saham dalam hal pemikiran bahwa teknologi modern dan masyarakat itu sesuatu yang buruk. Dia pula yang memperkenalkan khayalan tentang “kualitas keprimitifan.”
Pada mulanya Rousseau tidak pernah menggunakan sebutan itu, dan juga dia tidak merupakan seorang pengagum penduduk pribumi pulau-pulau di laut selatan, atau pun orang-orang Indian. Pikiran tentang apa yang disebut “kualitas keprimitifan” telah dikenal jauh sebelum jaman Rousseau, dan penyair Inggris kenamaan, John Dryden, sudah menggunakan sebutan yang persis begitu lebih dari seabad sebelum Rousseau lahir ke dunia. Dan bukan pula Rousseau yang berpendapat dan bersikap bahwa masyarakat itu dasarnya brengsek. Malah sebaliknya, dia senantiasa menekankan bahwa masyarakat itu perlu untuk manusia.
Dan akan halnya Rousseau-lah yang mula-mula mencetuskan gagasan “kontrak sosial” itu pun sepenuhnya palsu. Gagasan ini sudah didiskusikan panjang-lebar oleh John Locke yang hasil karyanya sudah diterbitkan jauh sebelum Rousseau lahir. Bukti menunjukkan, filosof Inggris yang masyhur Thomas Hobbes telah pula mendiskusikan pikiran ini (kontrak sosial) bahkan sebelum John Locke.
Bagaimana pula ihwal penolakan Rousseau terhadap teknologi? Amatlah gamblang dan jelas bahwa dua abad sesudah Rousseau meninggal dunia menyaksikan tumbuhnya teknologi yang luar biasa. Penentangan Rousseau terhadap teknologi dengan begitu jelas sia-sia belaka. Kalau toh terasa ada gerutu anti teknologi dewasa ini, itu sama sekali bukanlah bertolak dari tulisan Rousseau melainkan akibat yang tak diharapkan dari penggunaan teknologi yang tak terkendali di abad akhir ini.
Banyak para pemikir mengusulkan bahwa faktor lingkungan punya makna penting dalam pembentukan karakter manusia, karena itu saya pikir tak ada alasan mengaitkan ini dengan pikiran Rousseau karena toh memang menjadi pendapat umum. Begitu juga nasionalisme, sudah merupakan faktor pendorong utama jauh sebelum Rousseau hidup dan peranannya dalam pertumbuhan nasionalisme ini tidaklah seberapa.
Apakah tulisan-tulisan Rousseau merintis jalan ke arah pecahnya Revolusi Perancis? Sampai batas tertentu memang tak dapat disangkal, dan mungkin lebih penting dari apa yang disumbangkan oleh Diderot dan d’ Alambert. Tetapi, pengaruh Voltaire yang tulisan-tulisannya muncul lebih dulu, jumlahnya lebih banyak, lebih jelas arahnya, pokoknya lebih punya kaitan dari banyak segi.
Memang benar, Rousseau seorang anti-rasionalis diukur dari wataknya, khusus bertentangan dengan para penulis masyhur Perancis pada jamannya. Tetapi, anti-rasionalis bukanlah pula barang baru; kepercayaan politis serta sosial kita sering bertolak dari emosi dan prasangka, kendati kita coba-coba menyebutnya rasional sekedar satu alasan untuk meyakinkan mereka.
Tetapi, jika pengaruh Rousseau tidaklah sebesar anggapan para pengagumnya, bagaimanapun juga cukup meluas. Sebab, sepenuhnya benar bahwa dia merupakan faktor penting dalam hal pertumbuhan romantisme dalam kesusasteraan, dan pengaruhnya di bidang teori pendidikan berikut pemraktekannya telah membuktikan arti pentingnya. Rousseau memperkecil makna penting pendidikan anak-anak lewat buku bacaannya, karena dianggapnya lebih efektif belajar lewat pengalaman. (Kebetulan, Rousseau seorang penganjur gigih agar bayi minum susu ibu). Kedengarannya mencengangkan betapa seorang yang meninggalkan anaknya sendiri punya keberanian beri ceramah perihal bagaimana memelihara dan membesarkan anak-anak, tetapi tak usah diragukan bahwa gagasan-gagasan Rousseau punya pengaruh mendalam pada teori pendidikan modern.
Banyak pikiran menarik dan orisinal terdapat dalam tulisan-tulisan politik Rousseau. Tetapi yang paling menonjol dari kesemuanya itu adalah gairahnya yang berkobar-kobar terhadap terjelmanya persamaan hak dan derajat, dan perasaan yang membawa bahwa struktur masyarakat yang ada merupakan sesuatu yang tak tertahankan ketidakadilannya. (“Manusia dilahirkan merdeka; dan di mana-mana dia terbelenggu oleh rantai”). Rousseau sendiri tidak menganjurkan tindak kekerasan, tetapi jelas dia menggoda orang lain memilih revolusi kekerasan untuk mencapai perbaikan tingkat demi tingkat.
Pandangan Rousseau terhadap milik pribadi (dan juga terhadap pelbagai pokok masalah) sering bertentangan satu sama lain. Pernah dia menggambarkan hak milik pribadi itu merupakan “hak yang paling suci dari semua hak penduduk.” Tetapi, bisa juga dibilang bahwa serangannya terhadap hak milik pribadi punya akibat lebih besar terhadap sikap para pembacanya ketimbang komentar-komentarnya yang bernada memuji dan menyanjung. Rousseau merupakan salah satu dari penulis modern pertama yang punya arti penting melabrak habis lembaga hak milik pribadi, karena itu dia bisa dianggap selaku pemula dari faham sosialisme dan komunisme modern.
Akhirulkalam, orang tidak boleh anggap sepele teori Rousseau di bidang konstitusi. Ide sentral tentang “Kontrak sosial” adalah, menurut bunyi kalimat Rousseau sendiri “pengalihan secara total seluruh hak-hak orang per orang kepada masyarakat secara keseluruhan.” Kalimat ini mempersempit ruang gerak buat kebebasan pribadi atau untuk hak-hak asasi. Rousseau sendiri adalah seorang pembangkang terhadap penguasa, tetapi pengaruh pokok dari bukunya dapat dibuktikan kemudian oleh negara-negara totaliter.
Rousseau dikritik sebagai seorang kehinggapan penyakit syaraf yang gawat (belum lagi anggapan bahwa dia sinting), sebagai seorang lelaki chauvinis, seorang pemikir yang bikin resah dan pikirannya tidak praktis. Kritik-kritik macam ini umumnya dapat dibenarkan. Tetapi, yang lebih penting dari kekurangan-kekurangan yang ada pada Rousseau adalah pandangannya yang tajam dan kecerdasan yang orisinal yang terus berlangsung mempengaruhi pemikiran modern selama lebih dari dua abad.
Teori Pendidikan John Dewey
Menurut John Dewey, sekolah adalah lembaga penyelenggara pendidikan yang mempumyai maksud dan tujuan untuk membangkitkan sikap hidup demokratis dan untuk memperkembangkannya. Hal ini harus dilakukan dengan berpangkal pada pengalaman –pengalaman anak. Harus diakui bahwa tidak semua pengalaman berfaedah, oleh karena itu sekolah harus memberikan “bahan pelajaran” sebagai pengalaman-pengalaman yang bermanfaat bagi masa depan anak sekaligus juga anak dapat mengalaminya sendiri. Sehingga anak didik dapat menyelidiki, menyaring, dan pengatur pengalaman tadi.
Pandangan progresivisme mengenai konsep belajar bertumpu pada anak didik. Disini anak didik dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan, dibandingkan makhluk lain, yaitu akal dan kecerdasan. Dan dalam proses pendidikanlah peserta didik dibina untuk meningkatkan keduanya.
Menurut progresivisme, proses pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi sosiologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu pikologi dari aliran behaviorisme dan pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbing. John Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga pendidikan itu harus diabdikan pada kehidupan sosial; jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial.
Konsep Pendidikan John Dewei
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kondisi kehidupan manusia, kadang tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Dan mungkin kita tidak tahu alasan mengapa kita berbuat sesuatu. Kalau kita mau bercermin pada pendapat Paulo Freire, maka kita dapat membaca jalan pikiran seseorang. Apakah ia termasuk pada kategori orang yamg berkesadaran magic, naif, atau kritis.Adanya wacana tentang tingkatan kesadaran tersebut, mau tidak mau guru atau dosen sebagai penanggungjawab akan perubahan pada peserta didik harus memformat pola pendidikan untuk membawa kesadaran manusia pada tingkatan yang lebih tinggi.
Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuan pendidikan tersebut, yaitu memanusiakan manusia. Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahaman dia mengenai pendidikan itu sendiri, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan.John Dewey sebagai salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan peserta didik dalam jalannya proses pendidikan. Pendidikan partisipatif membawa peserta didik untuk mampu berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada dilingkungannya. Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas dengan realitas yang ada.
Konsep pendidikan John Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di bumi Indonesia. Sebab, secara psikologis dan sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika. Oleh karena itulah maka saat kita akan menerapkan konsep tersebut maka dasar psikologis dan sosiologis pun perlu kita perhatikan.
B. Pokok Bahasan
1. Riwayat Hidup John Dewey
2. Ajaran John Dewey
3. Analisis terhadap Pragmatisme John Dewey
4. Relevansi pada pendidikan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. RIWAYAT HIDUP JOHN DEWEY
Ia dilahirkan di Burlington Amerika pada tanggal 20 Oktober tahun 1859 M, dan meninggal 1 Juni 1952 M, di New York. Sesudah mendapat diploma ujian kandidat, ia 2 tahun menjadi guru (1879). Tiga tahun kemudian ia menjadi mahasiswa lagi dan mendapat gelar doctor dalam filsafat (1884). Ia diangkat menjadi dosen lalu asisten professor dan kemudian professor di Michingan. Sebagai professor dalam filsafat di Chicago, ia memimpin juga dibidang Pedagogik dan mendirikan suatu sekolah percobaan untuk menguji dan mempraktekkan teorinya.
Sepuluh tahun ia bekerja keras pada universitas ini dan mengumpulkan serta mendidik orang-orang yang akan meneruskan cita-citanya.Pada tahun 1904 sampai 1931 ia bekerja pada Universitas Columbia di New York, disamping memberikan kuliah filsafat ia juga sering di undang oleh berbagai negara untuk memberikan kuliah, seperti : Jepang, China, Turki, Mexico, Rusia, dan Inggris. Dan pada usianya yang ke-93 ia meninggal dunia pada tahun 1952.
B. AJARAN JOHN DEWEY
John Dewey adalah sorang pragmatis. Menurut dia, tugas filsafat ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience) dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis.
Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun suatu system norma-norma dan nilai.Menurut Dewey, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera ketika dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam diri kita sendiri. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang mengandung di dalamnya pemisahan antara subyek dan obyek, pemisahan antara pelaku dan sasarannya.
Di dalam pengalaman langsung itu keduanya bukanlah dipisahkan, tetapi dipersatukan. Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai suatu hal yang penting atau yang berarti. Jikalau terdapat pemisahan antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran itulah yang menyusun sasaran pengetahuan.Menurut Dewey penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau terpimpin dari suatu keadaan yang tak menentu menjadi suatu keadaan yang tertentu. Penyelidikan berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan dengan sengaja.
Oleh karena itu penyelidikan dengan penilaiannya adalah suatu alat (instrumen). Jadi yang dimaksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu, dengan cara pertama-tama meyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Sekolah sebagai lembaga penyelengara pendidikan menurut John Dewey mempunyai maksud dan tujuan untuk membangkitkan sikap hidup demokratis dan untuk memperkembangkannya. Hal ini harus dilakukan dengan berpangkal kepada pengalaman-pengalaman anak. Harus diakui bahwa tidak semua pengalaman berfaedah.
Oleh karena itu sekolah harus memberikan sebagai “bahan pelajaran” pengalaman-pengalaman yang bermanfaat bagi masa depan anak sekaligus juga anak dapat mengalaminya sendiri. Sehingga anak didik dapat menyelidiki, menyaring, dan mengatur pengalaman-pengalaman tadi. Pandangan progresivisme mengenai konsep belajar bertumpu pada anak didik. Disini anak didik dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk lain, yaitu akal dan kecerdasan. Dan dalam proses pendidikanlah peserta didik dibina untuk meningkatkan keduanya.
Menurut progresivisme, proses pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi sosiologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu pikologi dari aliran behaviorisme dan pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbing.John Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga pendidikan itu harus diabdikan pada kehidupan sosial; jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial.
C. ANALISIS TERHADAP PRAGMATISME JOHN DEWEY
Secara etimologi pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, pragma yang berarti guna, sesuatu yang dilakukan, tindakan kerja.Adapun secara terminologi pragmatisme dapat diartikan sebagai aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan akibat-akibat (konsekuensi) yang bermanfaat secara praktis. Sehingga disini benar atau tidaknya suatu teori tergantung pada bermanfaat atau tidaknya teori itu bagi kehidupan manusia; dan ukuran untuk segala perbuatan tergantung pada manfaatnya dalam praktek. Aliran Pragmatisme ini dikembangkan oleh orang-orang Amerika.
Dengan dipelopori oleh Pierce, William James dan John Dewey. Sehingga orang-orang Amerika yang pada saat itu sedang sibuk mempelajari filsafat dari luar mulai sadar bahwa sebenarnya dinegara mereka terdapat filsafat yang telah digali dan digarap di tanah airnya sendiri.Untuk menganalisis teori kebenaran bagi Dewey, saya sedikit mengutip dari penjelasan Dewey dalam bukunya Harun Hadiwijono: “Kebenaran sama sekali bukan hal yang sekali ditentukan dan tidak boleh diganggu gugat, sebab dalam prakteknya kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah”.
Dari sedikit penyataan itu setidaknya bisa dipahami bahwa menurut Dewey kebenaran itu selalu berubah-ubah, progresif, dan bukan final. Jika memang demikian maksud Dewey alangkah sulitnya untuk mengatur kehidupan di dunia ini. Bisa dibayangkan apabila semua kebenaran yang ada sekarang hanya bersifat sementara, dan tidak ada kebenaran tetap. Kita akan hidup pada pegangan hidup yang tidak kuat dan serba bimbang. Memang banyak kebenaran yang sifatnya sementara, sedang menjadi, belum final, tetapi apakah itu berlaku pada semuanya.
Lalu bagaimana misalnya dengan pernyataan-pernyataan sederhana berikut ini ;“Gajah adalah hewan yang lebih besar dari semut”, Membunuh orang yang tidak bersalah adalah perbuatan salah”, “Memberi maaf pada seseorang adalah lebih baik dari pada membenci seseorang” Bagaiman Dewey memberikan penjelasan terhadap pernyataan tersebut. Sesuai dengan filsafat pragmatismenya, menurut pandangan Dewey tidak menghendaki adanya norma atau kaidah yang tetap dan yang terlebih dulu ditentukan oleh sejarah atau agama, karena ia tidak turut campur tangan pada waktu membuatnya.
Norma harus timbul dari masyarakat sendiri yang selalu berubah, berganti sesuai dengan keadaan masyarakat yang senantiasa mengalami proses dan pergantian, dari suatu zaman ke zaman yang lain. Juga tujuan hidup yang erat hubungannya dengan kaidah itu wajib pula selalu berubah dan berganti menurut masanya. “Tak ada sesuatu yang tetap”Disamping itu juga, istilah bahwa segala sesuatu itu baik “apabila berguna” juga perlu di kritisi.
Apabila itu dipergunakan secara umum dapat membahayakan. Karena nanti orang boleh berkata, “pergaulan bebas, kumpul kebo, atas dasar suka sama suka, adalah baik”, karena berguna, minuman keras boleh, karena “berguna”. Belum lagi ini berguna bagi siapa? bagi saya, bagi kamu. Dewey menolak ‘yang umum’; ia menerima yang khusus. Sehingga bisa dibayangkan hal itu akan menimbulkan kekacauan nilai, akan mengancam manusianya itu juga.
C. Relevansi pemikiran John Dewey pada pendidikan di Indoensia.
Pendidikan partisipatif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif menuntut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan hanya pasif, mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru. Tanpa mengetahui apakah yang diikutinya baik atau buruk.
Dalam pendidikan partisipatif seorang pendidik lebih berperan sebagai tenaga fasilitator, sedangkan keaktivan lebih dibebankan kepada peserta didik. Pendidikan partisipatif dapat diterapkan dengan cara mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa dituntut untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan, kreatifitas.
Dengan cara melibatkan siswa secara langsung ke dalam proses belajar. Sehingga nantinya peserta didik dapat secara mandiri mencari problem solving dari masalah yang ia hadapi.Model pendidikan partisipatif bertumpu pada nilai-nilai demokratis, pluralisme, dan kemerdekaan peserta didik.
Dengan landasan nilai-nilai tersebut fungsi pendidik lebih sebagai falisitator yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi peserta didik untuk berekspresi, berdialog, dan berdiskusi.Kalau kita membandingkan antara konsep pendidikan John Dewey dengan kurikulum yang sekarang dialami, maka kita akan menemukan kesamaan, yaitu adanya kebebasan kepada para pendidik untuk membuat kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada. Tidak lagi tersentral separti pemerintahan Soeharto.Sekolah yang akan dihasilkan adalah sekolah yang sedikit mata pelajaran.
Namun, itu berguna bagi masyarakat. Sebab, kadang pelajaran yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan masrakat yang ada. Sebenarnya di Indonesia sudah banyak sekolah seperti tersebut. Diantaranya; SMK dan STM.Dari segi gurunya, dengan menggunakan pendidikan partisipatif, maka guru bukan lagi sebagai sentral pengajaran. Akan tetapi fungsi guru lebih sebagai fasilitator, sehingga setiap siswa turut berpartisipaif dalam proses belajar. Dengan demikian maka seorang guru akan dapat membawa siswa menuju apa yang dicita-citakannya.
BAB III
KESIMPULAN
Pandangan-pandangan yang berasal dari pragmatisme John Dewey banyak mempengaruhi alam bawah sadar dan berdampak pada kehidupan masyarakat Amerika, misalnya saja pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat munculnya sikap subjektifisme, individualisme, dan dua sikap ini saja cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri.
Oleh karena itulah saat akan diterapkan di Indonesia maka perlu dirancang agar sesuai dengan kondisi sosio masyakat Indonesia.
Untuk dapat mencapai pendidikan yang diidealkan maka, kita perlu melakukan pembenahan di segala bidang. Bukan hanya menyangkut kurikulum yang ada. Tetapi tenaga pendidik pun menjadi faktor penentu akan berhasilnya tujuan pendidikan yang ada.Sekolah sebagai lembaga pendidikan bukan hanya melaksanakan rutinitas pembelajaran di kelas. Akan tetapi fungsi sekolah harus lebih menekankan akan bagaimana siswa mampu mencari problem solving bagi masyarakatnya. Sehingga, lulusan yang dihasilkan tidak menjadi masalah baru bagi masyarakat.
Disinilah peran pendidikan akan dipertanyakan saat pendidikan tidak mampu memberikan jalan keluar bagi masalah yang berkembang dimasyarakat. Apalagi kalau pendidikan tidak bisa mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang ingin ia capai.Namun, tetap semuanya tidak ada yang sempurna. Konsep pendidikan yang berlandaskan filasafat pragmatisme nantinya yang menjadi ukuran keberhasilan adalah bisa tidaknya sesuatu tersebut digunakan untuk kepentingan hidup. Yang nantinya akan melahirkan pola hidup yang hedonis dan mekanis.
Daftar Pustaka
Ahmadi, Asmoro. 1995. Filsafat Umum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.Dewey, John. 1955. Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan. alih bahasa E.M. Aritonang. Jakarta: Saksana.Dhofir, Zamahsary. 1990. Kamus Filsafat. Bandung : Rosda Karya. Djumhur, I. dan H. Danasuparta. 1974. Sejarah Prndidikan. Bandung: CV. Ilmu. Hadiwijono, Harun. 2004. Sari Sejarah Filsafat Barat II. Yogyakarta : Kanisius.Iman, Muis Sad. 2004. Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey. Yogyakarta : Safiria Insani Press & MSI UII. Soejono, Ag.. 1980. Aliran Baru dalam Pendidikan. Bandung : CV. Ilmu.Suparlan, Y. B.. 1984. Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset.
[1] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), hal. 133.
[2] John Dewey, Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan, alih bahasa E.M. Aritonang, (Jakarta: Saksana, 1955), hlm. 5.
[3] Ag. Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, (Bandung : CV. Ilmu, 1980), hal. 126.
[4] Y. B. Suparlan, Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), hlm. 82-84
[5] I. Djumhur dan H. Danasuparta, Sejarah Prndidikan, (Bandung: CV. Ilmu, 0974), 88-90.
[6] Zamahsary Dhofir,Kamus Filsafat, (Bandung : Rosda Karya, 1990), hal. 261
[7] Asmoro Ahmadi, Filsafat Umum, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 118.
[8] Muis Sad Iman, M.Ag. Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Yogyakarta: Safiria Insani Press & MSI UII, 2004, hlm. 3
Teori Pendidikan
1. Pendidikan John Dewey ( Bagian 1 )
Dalam Tulisan ini mencoba untuk mengidentifikasi secara lebih jauh pemikiran John Dewey tentang pendidikan. Apa yang kita pahami, pemikiran pendidikan Dewey seiring dengan konsepsi filsafat eksperimentalisme yang dibangunnya melalui konsep dasar penmgalaman, pertumbuhan, eksperimen dan transaksi. Secara demikian Dewey juga melihat teori filsafatnya sebagai suatu teori umum tentang pendidikan dan melihat pendidikan sebagai laboran yang di dalamnya perbedaan-perbedaan filosofis menjadi konkrit dan harus diuji serta karena pendidikan dan filsafat saling membutuhkan.
Terdapat dua kontribusi penting dari konsep pendidikan Dewey yakni, konsepsi baru tentang pendidikan sosial dan kesosialan pendidikan, serta memberikan bentuk dan substansi baru terhadap konsep pendidikan yang berfokust pada anak. (Pendidikan, John Dewey, eksperimentalisme).
Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan pada dirinya sendiri bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memang memiliki daya dorong pada perubahan, bisa melahirkan orang-orang kritis dan kreatif. Akan Tetapi di sisi lain, ia pun memiliki fungsi untuk memperkuat dan melestarikan fungsi masyarakat yang timpang. Di poin inilah kemudian terjadi tarik menarik antara kekuatan yang mendorong pada perubahan dengan kekuatan yang mempertahankan status quo untuk tetap eksis.
Manakah dari dua hal ini yang akan lebih kuat pengaruhnya?Ada banyak tafsiran yang kadang-kadang kita temukan berbeda, kalau kita pahami itu sebagai entitas dari fenomena sosial, hal ini akan banyak bergantung pada sistem ekonomi dan politik yang mengelilingi pendidikan itu. Bila sistem ekonomi dan politik menunjukkan adanya ketimpangan maka fungsi pendidikan cenderung akan melestarikan ketimpangan itu sendiri, karena kebijakan dan praktek pendidikan akan banyak diisi dan dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan kelompok dominan yang menduduki posisi ekonomi dan politik di lapisan atas. Atau, kalaupun dari sistem pendidikan itu dapat muncul orang-orang yang kritis, daya kritisnya untuk melakukan perubahan akan mandul,kadang-kadang membutuhkanwaktu cukup lama.
Realitas ini, menjadi perlu untuk selalu di diskusikan sesering mungkin untuk mencari alternatif tentang konsep pendidikan dari para pemikir yang sekiranya cocok untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terkait dengan pemikiran ini. Salah satu konsep dan pemikiran yang dirasa cocok dengan hal tersebut dan akan dibahas di sini adalah konsep pendidikan menurut John Dewey.
Secara umum, deskripsi-deskripsi Dewey tentang peserta didik sebagai pengukur aktif tujuan-tujuan mereka sendiri telah dapat diterima secara luas. Apalagi, penolakan Dewey terhadap keabsolutan dan pertanyaan tentang kepastian dalam epistemologi menduduki posisi yang dominan dalam pemikiran masa kini. Keteguhannya tentang partisipasi peserta didik sebagai bentuk demokrasi sesuai dengan usianya sangat sejalan dengan semangat perubahan dan akan melahirkan orang-orang yang kritis dan kreatif. Pemikiran yang kritis dalam membaca suatu realitas akan melahirkan teori baru.
Dengan banyaknya kasus di wilayah pendidikan saat ini setelah pemerintahan Orde Baru, maka pemnulis mencoba untuk mencari formulasi konsep dalam Perspektif Filosofis.
Apa yang saya lakukan, bukan untuk mencari jalan tengah dari perbedaan pendapat tentang pemikiran John Dewey akan tetapi Artikel ini akan mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menjadi permasalahan dalam tulisan kali ini yakni, sebagai seorang filsuf, bagaimana konsep tentang pendidikan menurut John Dewey dan sumbangan apa yang bisa diberikan oleh konsep tersebut terhadap pendidikan, khususnya dalam upaya melahirkan orang-orang yang memiliki daya kritis dan inofatif terhadap perubahan.
Tidak banyak yang kita rumuskan tetapi dalam tulisan ini bertujuan untuk memahami secara komprehensif pemikiran John Dewey tentang pendidikan. Selain itu ingin dipahami juga kontribusi yang bisa diberikan Dewey terhadap dunia pendidikan dan seberapa pentingnya tulisan ini membantu kita untuk menganalisa lebih jauh secara filosofis dengan pemikiran-pemikiran yang berkembang.Mekipun artikel yang menulis tentang Dewey sudah banyak tetapi Secara umum terdapat banyak penelitian tentang John Dewey masih sebatas melihat pada sisi filsafat saja.
Hasil penelitian Brumbaugh dan Lawrence (1963) menyebutkan bahwa Dewey hampir-hampir tidak membedakan pemikiran filsafatnya dengan teori pendidikannya. Konsep Dewey tentang pendidikan diwarnai oleh pemikiran tentang pendidikan yang progresif, dimana pertumbuhan, perkembangan, evolusi, kemajuan, dan perbaikan merupakan elemen-elemen untuk menjadikan pendidikan yang progresif.
Pemikiran inilah yang membawanya menjadi salah satu konseptor tentang pedidikan kontemporer, dimana dalam konsep ini pula gagasan filosofi Dewey nampak dan disebutnya sebagai the experimental continum, atau penyelidikan yang berkelanjutan.
Dalam konsep tersebut terlihat adanya hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, yang dalam lingkup pendidikan digambarkan sebagai proses sosial. Brumbaugh dan Lawrence (1963) juga mengemukakan tentang teori umum pendidikan dari pemikiran Dewey, yang disebutkan bahwa pendidikan sebagai suatu proses pembentukan fundamental atas disposisi intelektual dan emosional seseorang.Sisi lain dari hasil penelitiannya pemikir lain yang bernama Whitehead juga menyatakan setuju dengan beberapa pemikiran Dewey tentang pendidikan. Whitehead menekankan bahwa pengetahuan datang dari konflik atau gesekan antar manusia yang terpecahkan.
Dalam hal ini manusia belajar tatkala terjadi persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan. Menurut Whitehead, Dewey yang memperoleh inspirasi dari Aristotle bahwa bentuk yang kompleks muncul dari sesuatu yang kecil dan individual yang alami. Menurutnya naturalisasi pendidikan Dewey adalah bentuk pendidikan untuk masyarakat, dimana baik Dewey maupun Rousseau menginginkan manusia hidup sesuai dengan kodrat, tetapi kodrat disini didalamnya termasuk dan melibatkan masyarakat yang kompleks, yang cenderung pada adanya kompleksitas lebih dari sekedar sesuatu yang bersifat sederhana.
Lebih lanjut Whitehead berpendapat bahwa naturalisasi Dewey bersifat evolusioner dan pragmatis, yang didalamnya terkandung gagasan evolusi, pertumbuhan, dan perkembangan manusia.
Satu hal lain, Noddings (1997) lebih tegas dalam membedah pemikiran Dewey pada beberapa hal. Pertama, ia mengelompokkan pemikiran Dewey sebagai filsuf naturalistik yang menjelaskan segala sesuatu dari fenomena alam dari obyek-obyek dan kejaduan-kejadian yang dapat diterima oleh perasaan manusia, dan menolak hal-hal yang berkaitan dengan sumber-sumber supranatural, bahkan menolak definisi Tuhan dalam gagasan-gagasan, rencana, dan tindakan manusia.
Dewey sangat percaya pada metode-metode ilmu pengetahuan dan mendesak penggunaannya dalam setiap bagian dari aktivitas manusia.Kedua, Noddings (1998) juga berpendapat bahwa Dewey sering mengemukakan dua hal yang ekstrim, sebagaimana disebutkan dalam bukunya yang berjudul experience and education. Dalam buku ini ia menyebutkan dua hal yang berlawanan.
Di satu pihak Dewey mempertentangkan antara pendidikan lama dan baru, tetapi di sisi yang lain ia tidak secara khusus mengemukakan yang baru tersebut.
Brumbaugh, R.S. and Lawrence, N.M. (1993). Philosopher on Education: Dewey, theEducational Experience. Houghtob Mifflin Company. Boston.
(Oleh : Co-Mimbar Demokrasi )
2. Teori Hierarki Kebutuhan Maslow / Abraham Maslow – Ilmu EkonomiTue,
Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kebutuhan yang membentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki dari yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Motivasi manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi.
Kebutuhan maslow harus memenuhi kebutuhan yang paling penting dahulu kemudian meningkat ke yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya.
Lima (5) kebutuhan dasar Maslow – disusun berdasarkan kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak terlalu krusial :
1. Kebutuhan FisiologisContohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.
2. Kebutuhan Keamanan dan KeselamatanContoh seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya.
3. Kebutuhan SosialMisalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.
4. Kebutuhan PenghargaanContoh : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.
5. Kebutuhan Aktualisasi DiriAdalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.
Lanjutan Teori Pendidikan
2. John Dewey
Pemikiran Filsafat John Dewey
John Dewey dan Pendidikan
Pembahasan di sini difokuskan pada John Dewey sebagai seorang pendidik, meskipun konsepsi pendidikan yang dirumuskannya sangat kental dengan pemikiran filosofisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran-pemikiran Dewey banyak berpengaruh pada praktek pendidikan masakini. Seiring itu pula, pemikiran-pemikiran Dewey, banyak memperoleh tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Bagi mereka yang pro, pemikiran Dewey merupakan penyelamat pendidikan Amerika. Sebaliknya, mereka yang tidak sepakat, gagasan Dewey disebutnya sebagai lebih rusak dari gagasan Hitler.John Dewey adalah seorang filsuf dan pendidik, yang lahir tahun 1859 dan meninggal tahun 1952. Sebagai seorang filsuf, aliran filosofinya diklasifikasikan dalam kategori.
Pragmatisme, meskipun Dewey sendiri lebih sering menggunakan istilah instrumentalisme dan eksperimentalisme. Menurut Garforth (1996) filosofi pragmatisme sering diarahkan sebagai filosofi konsekuensi yang menggunakan hasil atau konsekuensi sebagai kriteria dalam keputusan. Inti kebebasan pada Dewey adalah kebebasan inteligensi, dimana kebebasan observasi dan justifikasi dilakukan atas dasar keinginan yang memiliki arti secara intrinsik, yaitu bagian yang dimainkan oleh pikiran dalam belajar. Konsepsi pendidikan sebagai suatu proses sosial diterapkan tidak hanya ke anak di sekolah melainkan juga sekolah dan masyarakat.
Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Dewey
Pola pemikiran Dewey tentang pendidikan sejalan dengan konsepsi instrumen talisme yang dibangunnya, dimana konsep-konsep dasar pengalaman (experience), pertumbuhan (growth), eksperimen (experiment), dan transaksi (transaction) memiliki kedekatan yang akrab, sehingga Dewey mendeskripsikan filosofi sebagai teori umum pendidikan dan pendidikan sebagai laboran yang di dalamnya perbedaan-perbedaan filosofis menjadi kongkrit dan diuji. Pendidikan dan filosofi saling membutuhkan satu sama lain; dimana tanpa filosofi, pendidikan kering akan arahan inteligensi.
Sebaliknya, tanpa pendidikan, filosofi kehilangan implementasi praktis dan menjadi mandul. Pengalaman merupakan basis dari keduanya, di mana pendidikan didefinisikan sebagai rekonstruksi dan reorganisasi dari pengalaman yang memberi tambahan pada arti pengalaman, dan yang meningkatkan kemampuan untuk mengarahkan pengalaman berikutnya. Dalam Pedagogic Creed, Dewey (1897) mendefinisikan itu menjadi lebih singkat, sebagai suatu rekonstruksi yang terus menerus dari pengalaman dan dalam Democracy and Education, Dewey (1961) mendefinisikan pendidikan sebagai penuntun secara intelegensia terhadap pengembangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada kebiasaan pengalamaan.
Jika dielaborasi lebih lanjut, pemikiran di atas dapat diartikan bahwa untuk dapat tertarik pada sesuatu hendaknya terlibat dalam transaksi yakni dengan mengalami. Tesis ini berlaku baik pada anak maupun berbagai bentuk organisme lain. Pengalaman adalah suatu proses yang bergerak terus menerus dari suatu tahap ke tahapan rekonstruksi sebagaimana problem baru mendorong inteligensi untuk memformulasikan usulan-usulan baru untuk bertindak.
Pada prinsipnya, pengembangan pengalaman datang melalui interaksi berbagai aktivitas (means) di mana pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses sosial. Makna sosial dalam pendidikan merupakan penekanan khusus dalam pemikiran pendidikan Dewey dan menentukan pandangan keduanya, anak di sekolah dan sekolah di masyarakat.
Dalam banyak tulisannya, Dewey sering memberikan kritik terhadap sistem persekolahan tradisional, yang dapat dijelaskan di sini bahwa dalam sekolah tradisional, pusat perhatian berada diluar anak, apakah itu guru, buku, teks dan sebagainya. Kondisi ini merupakan kegagalan untuk melihat anak sebagai makhluk hidup yang tumbuh dalam pengalaman dan di mana dalam kapasitasnya untuk mengontrol pengalaman dalam transaksinya dengan lingkungan. Hasilnya pokok-persoalan terisolasi dari anak dan hubungan menjadi formal, simbolik, statis, mati; sekolah menjadi tempat untuk mendengarkan, untuk instruksi massal, dan selanjutnya terpisah dari hidup.
Menurut Dewey dalam Experience and Education, pendidikan merupakan persiapan. Dengan demikian pendidikan merupakan suatu rekonstruksi pengalaman, langkah ke depan, untuk persiapan berikutnya. Pencapaian goals masa depan di sini yang belum diketahui sebelumnya; melainkan didekati secara eksperimental dan dibentuk oleh konsekuensi-konsekuensi.
Dalam konteks ini, Dewey mengkritisi segala upaya yang mencoba mendidik anak dengan pencapaian yang sudah pasti, yang memaksa mereka menimbang pola-pola prestasi sebagai antisipasi ke depan. Anak-anak tersebut dididik untuk menjadi warganegara (citizenship), untuk kejuruan (vocational), untuk pariwisata (leisure); mereka diajar membaca, berhitung, geografi, karena akan berguna untuk mereka dalam hidupnya.
Namun, pemikiran ini hanya bisa diberlakukan dengan asumsi bahwa keterampilan yang dipelajari saat ini dapat secara efektif digunakan untuk kepentingan masa depan yang kemungkinan sekali berubah. Dalam hal ini, penggunaan keterampilan saat ini sebagai persiapan masa depan merupakan kontradiksi dengan pemikirannya bahwa pendidikan merupakan suatu proses kehidupan dan bukan suatu persiapan untuk kehidupan mendatang.
Dalam Experience and Education, Dewey ( 1938) mengkritisi bukan hanya sistem persekolahan tradisional melainkan juga bentuk-bentuk ekstrim dari pendidikan modern (progressive). Menurut dia tidaklah cukup untuk bereaksi secara negatif menentang masa lalu. Sekolah-sekolah maju telah menolak konsep subject-matter sebagai suatu produk akhir yang secara logika dihadirkan dalam berbagai buku. Mereka telah menolak kondisi kewenangan eksternal yang memuat kebebasan, ekspresi dan keindividuan.
Mereka juga telah mengangkat pengalaman masa kini di atas masa lalu. Tetapi mereka tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap kerja positif dari berpikir konsekuensi-konsekuensi praktis posisi mereka sendiri. Tempat subject-matter dalam persekolahan, faktor-faktor pengontrol didalam pengalaman dan yang pasti menempati kewenangan eksternal, adalah fungsi kematangan dalam memandu yang belum matang (immature). Mereka juga tidak secara cukup menyadari bahaya yang melekat pada posisi mereka sendiri. Kebebasan, sebagai contoh, disalahtafsirkan sebagai laissez-faire, terlalu banyak penekanan pada keperluan anak saat ini dan menurutkan kata hati (impulses).
Hal ini dapat mengarah pada pengabaian fakta dasar dari pertumbuhan, dan teori-teori baru yang cenderung terperosok ke dalam dogmatisme-dogmatisme ketat seketat yang lama, yang ingin digantinya.
Sumbangan Pemikiran John Dewey Terhadap Pendidikan
Apresiasi dan sumbangan pemikiran pendidikan John Dewey tidak dapat dipungkiri telah berdampak luas, tidak hanya di Amerika tetapi dunia. Di Amerika, disebutkan bahwa dialah orang yang lebih bertanggung jawab terhadap perubahan pendidikan Amerika selama tiga dekade yang lalu. Pada tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan akhir-akhir ini pada sekolah menengah dan tinggi, pengaruh Dewey telah memberikan rujukan terhadap praktek persekolahan, dari yang bersifat formal dan pengajaran yang penuh dengan gaya memerintah, ke arah konsep pembelajaran yang lebih manusiawi.
Dalam hal ini pemikiran Dewey memberi rujukan tentang pusat dalam pembelajaran anak dan berproses dalam pengalamannya. Garis besar pemikiran pendidikan yang selalu dikaitkan dengan Dewey dan telah banyak memberikan kontribusi terhadap konsep-konsep pendidikan perlu digarisbawahi di sini. Menurut Garforth (1966) terdapat tiga pengaruh pemikiran Dewey dalam pendidikan yang dirasakan sangat kuat hingga saat ini
Pertama, Dewey melahirkan konsepsi baru tentang kesosialan pendidikan, di sini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya, Republic, dan selanjutnya oleh banyak penulis disebutkan sebagai teori pendidikan yang umum. Tetapi Dewey lebih dari itu, bahwa pendidikan adalah instrumen potensial tidak hanya sekedar untuk konservasi masyarakat, melainkan juga untuk pembaharuannya. Ini ternyata menjadi doktrin yang akhirnya diakui sebagai demokrasi, dimana Dewey memperoleh kredit yang tinggi dalam hal ini.
Selanjutnya, hubungan yang erat antara pendidikan dan masyarakat bahwa dalam pendidikan harus terefleksikan dalam manajemennya dan dalam kehidupan di sekolah terefleksi prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang memotivasi masyarakat. Pendapat ini mengalami pengabaian dalam masa yang lama, meskipun akhirnya secara berangsur dapat diterima. Akhirnya, proses pembelajaran adalah lebih tepat disuasanakan sebagai aktivitas sosial, sehingga iklim kerjasama dan timbal balik menggeser suasana kompetisi dan keterasingan dalam memperoleh pengetahuan.
Dengan ketiga penekanan dalam pendidikan tersebut, telah memberikan udara segar terhadap konsep pendidikan sebagai suatu proses sosial terkait erat dengan kehidupan masyarakat secara luas di luar sekolah; dan sebaliknya hal ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan kehidupan masyarakat di sekolah, dan hubungan antara guru dan pengajaran.
Kedua, Dewey memberikan bentuk dan substansi baru terhadap konsep keberpusatan pada anak (child-centredness). Bahwa konsep pendidikan adalah berpusat pada anak, telah sejak lama dilontarkan, bahkan oleh Aristoteles. Namun, selama berabad-abad tenggelam dalam keformalitasan asumsi-asumsi psikologi klasik pada konsep klasik. Jika Rousseau, Pestalozzi, dan Froebel telah melakukan banyak untuk membebaskan anak dari duri miskonsepsi kewenangan, maka Dewey juga telah memberikan sumbangan yang sama terhadap dunia modern.
Dalam hal ini Dewey mendasarkan konsep keberpusatan pada anak pada landasan-landasan filosofis, sehingga lebih kuat jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Demikian pula, pada sebuah penelitiannya tentang anak, menjadi lebih menyakinkan dengan dukungan pendekatan keilmuan dan tidak terkesan sentimental.
Ketiga, Proyek dan problem-solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang Pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam teknik pembelajaran di kelas. Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey membangunnya sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberikan kerangka teoritik dan berbasis eksperimen. Dengan demikian Dewey lah yang telah membawa orang menjadi tertarik untuk menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di sekolah, termasuk digalakkannya kegiatan berlatih menggunakan inteligensi dalam rangka penemuan (discovery) .
4. Teori Rousseau
Seorang filsuf Prancis, mengeluarkan statemen dalam bukunya Contract Social yang terkenal dengan ilmu kenegaraannya. “Manusia terlahir bebas, tetapi ada belenggu-belenggu yang mengikat manusia tersebut”. Hal ini dimaksudkan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh manusia tidak pernah mutlak. Selalu akan terbentur dengan kebebasan individu lain.
Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kesepakatan agar tiap benturan kebebasan itu tidak menimbulkan konflik bahkan penghilangan kebebasan manusia lain. Kontrak itulah yang kemudian menjunjung tinggi adanya kedaulatan rakyat, pengutamaan suara mayoritas. Terkesan bahwa rakyat akan memiliki jaminan atas kebebasan mereka, tetapi kelemahan dari teori Rousseau ini adalah, yang ia tekankan adalah mayoritas, maka dimanakah suara bagi minoritas?
Kekejaman Rousseau sebagai pemikir kemudian menguat pada novelnya yakni Emile yang semakin memperkuat kata manusia hanya dimiliki oleh laki-laki. Perempuan tidak diakuinya sebagai manusia yang utuh. Perempuan adalah submanusia. Rousseau ingin menunjukkan bahwa perempuan tidak mungkin berada dalam lingkup akademis yang logis dan kritis. Sebaliknya, untuk dapat mengikuti kehidupan laki-laki, perempuan haruslah mendapatkan pendidikan yang membekali mereka sebagai calon istri yang baik.
Alasan di balik pembedaan pendidikan ini adalah, perempuan memiliki sifat emosional yang lebih kompleks dibandingkan laki-laki. Pendidikan tersebut misalnya mengenai musik, sastra, dan keterampilan rumah. Dengan belajar hal-hal yang semacam itu, perempuan diharapkan mampu mengimbangi pola hidup laki-laki yang penuh dengan pemikiran. Pendidikan untuk laki-laki sendiri mencakupi bidang politik, hukum, filsafat, ekonomi, dan pendidikan formal lainnya. Jelas novel ini sangat misoginis karena menunjukkan bahwa perempuan takkan mampu mengikuti pola pendidikan laki-laki. Perempuan tidak dianggap sebagai manusia, ia dianggap sebagai submanusia. Akibat dari novel ini adalah, dalam masyarakat, semakin diyakini bahwa memang pendidikan untuk perempuan harus dibedakan dari pendidikan laki-laki. Perempuan hanya pantas dididik sebagai calon ibu rumah tangga yang baik, untuk mengimbangi suaminya nanti.
Muncullah kritik dari seorang feminis bernama Mary Wollstonescraft dalam bukunya Vindication of The Rights of Women (1789). Jika dikatakan bahwa perempuan harus dapat mengimbangi laki-laki dalam kehidupan, perempuan pun haruslah mengerti bidang-bidang yang dipelajari juga oleh laki-laki.
Bagaimana mungkin perempuan dikatakan mengimbangi kalau ia tidak mengerti sama sekali pembicaraan yang dilakukan oleh laki-laki. Justru perempuan akan semakin mengalami penekanan karena ketidakpahamannya itu. Kondisi yang akan terjadi adalah, ketika suami pulang dari bekerja, lalu ia mengeluh mengenai keadaan di tempatnya bekerja termasuk mengenai isu yang sedang terjadi di masyarakat, si istri hanya dapat menjadi pendengar. Istri tidak akan berani memberikan pendapatnya karena tidak memiliki pengetahuan sama sekali.
Walaupun ia berpendapat, suami tidak akan menanggapi karena menganggap bahwa istrinya tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Istri pun mengalami subordinasi. Oleh karena itu, Wollstonescraft mengkritik pembedaan pendidikan oleh Rousseau dan mengatakan bahwa, sebagai manusia, perempuan pun berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki agar dapat berpartisipasi dalam ruang publik.
Lebih lanjut lagi, dalam bukunya ini, Wollstonecraft mengajak perempuan-perempuan yang telah terbiasa hidup dalam sangkar emas untuk keluar dan mulai berdaya. Sangkar emas ini merupakan simbol dari keterlenaan perempuan yang mau diberi segala kemudahan dalam kehidupan, tetapi implikasi dari kemudahan itu adalah pengambil-alihan statusnya sebagai manusia bebas. Perempuan tidak mendapatkan haknya sebagai manusia, antara lain hak milik, hak pilih bahkan terkesan, hak hidupnya pun sudah dibatasi. Perempuan menjadi tergantung pada laki-laki (pada ayah ataupun pada suami). Jangan-jangan untuk bernafas pun perempuan harus menunggu aba-aba dari laki-laki.
Masalah semacam ini semakin mengakar kuat dan memperburuk keadaan perempuan, karena sangkar emas membuat perempuan tidak ingin keluar dari kesemuan itu. Pola ini kemudian akan diturunkan ke anak-anak perempuannya sehingga muncul impian ingin mencari sangkar emas-sangkar emas baru, karena hanya pola hidup semacam inilah yang dimengerti oleh perempuan.
Perempuan yang hidup terlena dalam sangkar emasnya tidak menyadari bahwa problem-problem kehidupannya justru semakin terkubur oleh problem keluarganya. Identitasnya terkubur oleh identitas yang lebih kuat, dalam hal ini adalah identitas laki-laki yang menguasai kehidupannya.
Akhirnya masalah yang dialami perempuan menjadi lebih kompleks, karena permasalahan yang dialaminya tidak dikenali oleh lingkungan sekitarnya. Perempuan akan dianggap hanya mengalami depresi atau stres pada umumnya. Permasalahan ini oleh Betty Friedan disebut sebagai The problem that has no name. Dan masalah inilah yang dialami oleh kebanyakan perempuan terutama dalam rumah tangganya sebagai akibat dari hak mereka sebagai manusia dibatasi. Bahkan mengeluh pun mereka harus menyadari posisi mereka.
Jika perempuan dibiarkan diam terus-menerus, akan semakin memperkeruh air masalah yang dialaminya. Tetapi untuk bisa menjernihkan kehidupan perempuan, dibutuhkan pengakuan akan hak-hak hidup perempuan. Perjuangan para feminis liberal inilah yang ingin mengeluarkan perempuan dari sangkar emas yang mengukung mereka. Hasilnya adalah, pengakuan akan hak milik, hak pilih bagi perempuan. Ini bukan perjuangan yang mudah, mengingat keterlenaan perempuan telah mengakar sejak lama.
Tetapi bukan berarti sebuah teori tidak memiliki kelemahan. Ketika kita hanya fokus pada hak individu, yang bersifat eksternal, maka kita akan terbutakan oleh hal-hal yang lebih inti dari penderitaan perempuan. Seperti kenapa perempuan tidak dapat mengikuti alur pemikiran laki-laki, karena ada perbedaan pengertian bahasa. Atau seperti tradisi yang tidak dapat dibongkar, padahal tradisi tersebut secara jelas telah membiarkan laki-laki tetap mengopresi perempuan. Lalu, apakah hanya sekedar hak pilih maupun kemandirian ekonomi yang harus dicapai perempuan? Bukankah sudah saatnya memutus rantai kekerasan tersebut dalam segala hal, termasuk dalam memutuskan tradisi kekerasan tersebut?
Hirarki Kebutuhan Maslow
Ada sebuah loncatan pada piramida kebutuhan Maslow yang paling tinggi, yaitu kebutuhan mencapai aktualisasi diri. Kebutuhan itu sama sekali berbeda dengan keempat kebutuhan lainnya, yang secara logika mudah dimengerti. Tapi mengapa setelah seseorang mencari pengakuan, mencari penghormatan lalu mencari jati diri? Mengapa? Dan bagaimana prosesnya? Seakan-akan ada missing link antara piramida ke-4 dengan puncak piramida. Seolah-olah terjadi lompatan logika. Pada saat Bill Gates mengundurkan diri dari Microsoft Corp semua orang bingung, mengapa orang paling kaya sedunia, paling berkuasa dengan uangnya, paling berpengaruh, paling dihormati karena prestasi dan kekuatannya, tiba-tiba mengundurkan diri pada usia muda.
Dia lalu mengurusi yayasan sosial korban HIV/AIDS. Ini comtoh nyata suatu lompatan logika. Dia rela melepaskan kekuasaan dan kekayaan, untuk kegiatan sosial. Kok bisa? Apa isi dunia kehidupan setelah uang dan materi? Bagaimana proses Bill Gates mencapai aktualisasi diri dengan tidak lagi peduli dengan uang dan kekuasaannya? Berarti ada kebutuhan lain di luar kebutuhan hidup untuk memiliki makanan, rasa aman, cinta dan pengakuan. Ada piramida kebutuhan selain kebutuhan duniawi, yaitu kebutuhan jiwa.
1. Kebutuhan hidup ala Abraham Maslow tidak bisa menjelaskan mengapa banyak orang miskin yang bahagia. Mereka tidak terpengaruh oleh perbedaan jenis makanan, minuman atau rumah yang ditempati. Orang miskin bahagia seperti menunjukkan bahwa kebutuhan dasar hidup bukan seperti piramida Maslow.
2. Banyak orang yang sangat membutuhkan rasa cinta, semuanya sangat menyukai membahas masalah cinta, mengekspresikan cinta, tapi makin dalam cinta terasa semakin membuat sakit. Aneh, manusia butuh rasa cinta tapi semakin mendalam rasa cinta kok malah menyakitkan akibatnya, seolah-olah bukan itu yang sejati. Bukan itu yang sesungguhnya dibutuhkan. Lalu cinta yang bagaimana?
3. Seharusnya, hakekat hidup manusia adalah untuk memenuhi kebutuhannya. Maka ketika seseorang sudah memenuhi kebutuhannya, seharusnya dianggap lebih tinggi atau dihormati. Kenyataannya orang kaya, orang yang mengagung-agungkan cinta malah dibenci. Banyak orang kaya yang dibenci kan? Orang-orang yang mengagungkan cinta seperti Julius Caesar malah dibunuh dan tidak dihormati. Lalu kalau demikian, buat apa manusia memenuhi kebutuhannya? Untuk apa? Seolah ada paradoks dalam hal ini.
4. Banyak sekali kejadian-kejadian yang ekstrim terjadi pada usia Midlife crisis (krisis di pertengahan usia hidup) biasanya pada umur 40 tahun. Kebanyakan mereka cenderung mengalami jebakan, seperti misalnya: kawin lagi, atau merasa hidupnya kesepian, terasa hampa. Seolah mengejar kebutuhan materi, menjadi kaya, butuh rasa dicintai menjadi momok di dalam perjalanan hidup kita. Akhirnya menjadi sia-sia. Sungguh aneh, mengapa orang yang berjuang seumur hidupnya, memiliki kekuasaan, memiliki segalanya, bisa terjebak Midlife crisis. Seolah-olah ada yang salah dengan hal-hal yang dikejar selama ini, karena berujung pada hal yang sia-sia.
5. Kitab suci mengatakan, “Manusia tidak hanya makan dari roti”. Nah, kalau manusia tidak hanya membutuhkan roti untuk makanan dalam hidup, lalu apa kebutuhan manusia yang sesungguhnya?
People conform to the Laws of the Earth. The Earth conforms to the Law of Heaven. Heaven conforms to the Way (Tao) The Tao conforms to its own nature. – Lao Tzu –
Kebutuhan Jiwa
Apakah kebutuhan jiwa itu? Mengapa kita perlu mengerti kebutuhan jiwa ? Untuk apa? Dan apa peranannya dalam mengembangkan diri kita seutuhnya ehingga bisa tahu kemana jalan hidup menuju, sehingga tidak tersesat ? Tubuh kita memerlukan fisik dan nutrisi untuk tumbuh, demikian juga jiwa. Jiwa membutuhkan nutrisi yang berbeda.
Bila percaya bahwa kehidupan dalah perjalanan jiwa, maka semua pengalaman hidup sehari-hari adalah human experience yang berpengaruh terhadap pertumbuhan jiwa sehingga menjadi lebih besar. Kita semua diberi suatu talenta atau berkah dari Sang Pencipta. Yang menjadi tantangan adalah menemukan talenta tersebut dan memberikannya kepada orang lain agar jiwa kita semakin tumbuh berkembang.
Tapi meski kita memberikan “nutrisi kepada jiwa kita” dengan memberikan hal yang kita miliki kepada orang lain, kita tidak akan dapat memberikan cinta kasih jika kita tidak menerima cinta kasih; terutama dengan perasaan dan empati, dalam memberikan sesuatu kepada orang lain dan sebaliknya. Setiap manusia harus belajar keras untuk menyeimbangkan diri, dalam berhubungan dengan sekeliling, dan juga pemenuhan diri sendiri (Ego). Jangan sampai, memberi makan jiwa dengan cara memberi kepada orang lain, justru membebani ego. Memulai dengan mencintai keluarga sendiri dengan tulus, dapat membantu pertumbuhan jiwa. Orang tua misalnya dapat memberikan cinta yang tulus kepada anaknya. Lalu setelah semua anak-anaknya besar, dapat memberikan perhatiannya kepada masyarakat sekitar dan tentunya kepada dunia.
Selain kasih yang tulus dalam memberi nutrisi jiwa, beberapa hal penting untuk kebutuhan jiwa adalah: • Sifat Pemaaf • Keberanian • Kesabaran • Iman • Empati • Murah Hati • Kebijaksanaan
5. Teori wiliam james
Teori Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari “berpikir “. Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan ” barangkali ” keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya.
Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated).
Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek.
Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma’rifah).
Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer.
Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya “Syinakht”, Muhammad Baqir Shadr dengan “Falsafatuna”-nya, Jawad Amuli dengan “Nadzariyyah al Ma’rifah”-nya dan Ja’far Subhani dengan “Nadzariyyah al Ma’rifah”-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual.
Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap.
Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini.
Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.
JJ. Rousseau
J.J. Rousseau, seorang filsuf Prancis, mengeluarkan statemen dalam bukunya Contract Social yang terkenal dengan ilmu kenegaraannya. “Manusia terlahir bebas, tetapi ada belenggu-belenggu yang mengikat manusia tersebut”. Hal ini dimaksudkan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh manusia tidak pernah mutlak. Selalu akan terbentur dengan kebebasan individu lain.
Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kesepakatan agar tiap benturan kebebasan itu tidak menimbulkan konflik bahkan penghilangan kebebasan manusia lain. Kontrak itulah yang kemudian menjunjung tinggi adanya kedaulatan rakyat, pengutamaan suara mayoritas. Terkesan bahwa rakyat akan memiliki jaminan atas kebebasan mereka, tetapi kelemahan dari teori Rousseau ini adalah, yang ia tekankan adalah mayoritas, maka dimanakah suara bagi minoritas?
Kekejaman Rousseau sebagai pemikir kemudian menguat pada novelnya yakni Emile yang semakin memperkuat kata manusia hanya dimiliki oleh laki-laki. Perempuan tidak diakuinya sebagai manusia yang utuh. Perempuan adalah submanusia. Rousseau ingin menunjukkan bahwa perempuan tidak mungkin berada dalam lingkup akademis yang logis dan kritis. Sebaliknya, untuk dapat mengikuti kehidupan laki-laki, perempuan haruslah mendapatkan pendidikan yang membekali mereka sebagai calon istri yang baik. Alasan di balik pembedaan pendidikan ini adalah, perempuan memiliki sifat emosional yang lebih kompleks dibandingkan laki-laki.
Pendidikan tersebut misalnya mengenai musik, sastra, dan keterampilan rumah. Dengan belajar hal-hal yang semacam itu, perempuan diharapkan mampu mengimbangi pola hidup laki-laki yang penuh dengan pemikiran. Pendidikan untuk laki-laki sendiri mencakupi bidang politik, hukum, filsafat, ekonomi, dan pendidikan formal lainnya. Jelas novel ini sangat misoginis karena menunjukkan bahwa perempuan takkan mampu mengikuti pola pendidikan laki-laki.
Perempuan tidak dianggap sebagai manusia, ia dianggap sebagai submanusia. Akibat dari novel ini adalah, dalam masyarakat, semakin diyakini bahwa memang pendidikan untuk perempuan harus dibedakan dari pendidikan laki-laki. Perempuan hanya pantas dididik sebagai calon ibu rumah tangga yang baik, untuk mengimbangi suaminya nanti.
Muncullah kritik dari seorang feminis bernama Mary Wollstonescraft dalam bukunya Vindication of The Rights of Women (1789). Jika dikatakan bahwa perempuan harus dapat mengimbangi laki-laki dalam kehidupan, perempuan pun haruslah mengerti bidang-bidang yang dipelajari juga oleh laki-laki. Bagaimana mungkin perempuan dikatakan mengimbangi kalau ia tidak mengerti sama sekali pembicaraan yang dilakukan oleh laki-laki. Justru perempuan akan semakin mengalami penekanan karena ketidakpahamannya itu. Kondisi yang akan terjadi adalah, ketika suami pulang dari bekerja, lalu ia mengeluh mengenai keadaan di tempatnya bekerja termasuk mengenai isu yang sedang terjadi di masyarakat, si istri hanya dapat menjadi pendengar. Istri tidak akan berani memberikan pendapatnya karena tidak memiliki pengetahuan sama sekali. Walaupun ia berpendapat, suami tidak akan menanggapi karena menganggap bahwa istrinya tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Istri pun mengalami subordinasi.
Oleh karena itu, Wollstonescraft mengkritik pembedaan pendidikan oleh Rousseau dan mengatakan bahwa, sebagai manusia, perempuan pun berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki agar dapat berpartisipasi dalam ruang publik.
Lebih lanjut lagi, dalam bukunya ini, Wollstonecraft mengajak perempuan-perempuan yang telah terbiasa hidup dalam sangkar emas untuk keluar dan mulai berdaya. Sangkar emas ini merupakan simbol dari keterlenaan perempuan yang mau diberi segala kemudahan dalam kehidupan, tetapi implikasi dari kemudahan itu adalah pengambil-alihan statusnya sebagai manusia bebas.
Perempuan tidak mendapatkan haknya sebagai manusia, antara lain hak milik, hak pilih bahkan terkesan, hak hidupnya pun sudah dibatasi. Perempuan menjadi tergantung pada laki-laki (pada ayah ataupun pada suami). Jangan-jangan untuk bernafas pun perempuan harus menunggu aba-aba dari laki-laki.
Masalah semacam ini semakin mengakar kuat dan memperburuk keadaan perempuan, karena sangkar emas membuat perempuan tidak ingin keluar dari kesemuan itu. Pola ini kemudian akan diturunkan ke anak-anak perempuannya sehingga muncul impian ingin mencari sangkar emas-sangkar emas baru,

0 komentar:

Posting Komentar

Budayakan Komentar dong masbro...
jangan cuma Baca, Copas, Ngacir... hehe

  • Digg
  • del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Yahoo! Buzz
  • Technorati
  • Facebook
  • TwitThis
  • MySpace
  • LinkedIn
  • Google
  • Reddit
  • Netvibes
Info Radio Streaming
Radio Online Untuk Web Anda
www.kunjungisaja.ah
Butuh motivasi Hidup
Cerita Tentang Kehidupan Dan Cinta
Design by Blogger Tune-UpCopyright © 2011 Online Library | Makalah | e-Book | Powered by Blogger